Jumat, 26 Desember 2008

Politik Kebudayaan Warok

Cerita warok Ponorogo, Jawa Timur, dimulai dengan legenda tokoh sakti. Perubahan zaman menghadapkan budaya itu pada banyak dilema. Konsep warok pun tertantang untuk ditafsirkan ulang sesuai semangat zaman. Warok Suromenggolo, diperkirakan hidup pada permulaan Kerajaan Majapahit, mengawali kisah mistis itu. Warok itu memiliki kolor sakti yang bisa membunuh lawan. Pusakanya yang lain, luyung bang, bisa menghidupkan orang mati. Dikisahkan, putri Suromenggolo bernama Cempluk jatuh cinta pada Subroto, putra penguasa Trenggalek. Tetapi, Suminten, putri Warok Surogentho, juga terpikat dengan pemuda yang sama. Kedua warok itu pun bertarung demi membela anaknya, dan Suromenggolo menang. Kisah kolor sakti Suromenggolo melahirkan legenda kedigdayaan warok yang jadi kebanggaan masyarakat. Warok dicitrakan sebagai kelompok kuat yang disegani. Namun, kelebihan ini justru menghadapkan mereka pada ketegangan sosial-politik.


Ketegangan bermula dari kelahiran reog oleh Demang Ki Ageng Kuthu Suryongalam, perwakilan pemerintah Kerajaan Majapahit di Ponorogo pada masa kekuasaan Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V (1468-1478). Kuthu menilai, raja gagal memimpin rakyat dengan adil karena dipengaruhi permaisuri. Kuthu menghimpun warok untuk dilatih sebagai prajurit. Tetapi, niat makar urung dilaksanakan, dan para warok diajak memainkan seni reog. Dalam barongan, raja dilukiskan sebagai kepala harimau, yang ditunggangi merak berbulu indah. Itulah sindiran halus bahwa raja telah disetir permaisuri.

Warok Tobroni (70) dari Cokromenggalan mengungkapkan, Belanda berusaha memecah belah warok agar tidak memberontak. Politik devide at impera berhasil menciptakan permusuhan di kalangan warok, dan itu berlangsung hingga menjelang kemerdekaan. Warok lekat dengan citra kekerasan. Islam yang masuk ke Ponorogo juga memanfaatkan warok dan reog sebagai sarana dakwah, sebagaimana dilakukan Ki Ageng Merah dan Bethoro Kathong. Jargon-jargon warok ditafsirkan dalam perspektif agama. Kata warok sendiri dirujukkan pada kosakata Arab, wara', yang berarti orang yang saleh dan alim.

Instrumen politik

Konflik berdarah tahun 1965 menyeret warok Ponorogo dalam ketegangan. Menurut peneliti tradisi di Universitas Jember (Unej), Ayu Sutarto, partai politik memanfaatkan warok dan reog untuk menggalang massa. Warok dan reog terpecah jadi beberapa kelompok yang bermusuhan.Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusupi Barisan Reog Ponorogo (BRP), sedangkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) memegang Barisan Reog Nasional (Bren). Muncul pula Cabang Kesenian Reog Agama (Cakra) yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU). Suasana mencekam, banyak warok jadi korban. Mereka beradu kesaktian atau menyelamatkan diri. Beberapa warok selamat dari peristiwa itu dengan mengandalkan ilmu kanuragan. Mbah Kakuk Senen (83), warok asal Desa Bulu Lor, Kecamatan Jambon, bercerita, rumahnya pernah dikepung banyak orang. "Saya selamat setelah merapal wirid ilmu menghilang," katanya.Mobilisasi politik Orde Lama berganti politik massa mengambang (floating mass) pada era Orde Baru. Warok tetap diincar sebagai kendaraan politik. Partai memanfaatkan media tradisional itu untuk menyuarakan pesan politik. Barongan dan dadak merak kerap muncul dalam kampanye dengan dominasi warna partai.

Identitas


Pemerintah Kabupaten Ponorogo saat ini mengarahkan warok dan reog sebagai identitas budaya daerah. Seni reog dibakukan, seperti dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo. Sejak tahun 1994, pemerintah menggelar festival reog dan gerebeg Syuro.Menurut pengajar Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Tugas Kumorohadi, citra warok dan reog makin berorientasi pertunjukan panggung. Reog dinilai dari aspek dramaturgi, tarian, dan tata busana yang serba seragam, manis, dan gemerlap."Warok dan reog masuk dalam paket komoditas wisata. Ruh warok sebagai manusia unggul dan reog sebagai ekspresi seni rakyat surut," katanya.Menurut warok asal Sumoroto, Mbah Wo Kucing (70), warok sebaiknya jangan terbawa arus zaman, melainkan kukuh memberikan wewarah (pengajaran) nila-nilai luhur pada masyarakat. Warok juga dituntut menguasai ilmu kaweruh (kebijaksanaan spiritual), meniti jalan kemanusiaan sejati (reh kamanungsan sejati), dan warok jadi sumber ketenteraman batin.

Warok-warok tua merupakan simpul penting untuk menelusuri identitas budaya masyarakat Ponorogo. Kehadiran mereka mengukuhkan kearifan lokal—nilai, estetika, dan ilmu pengetahuan masa lalu—yang semakin terdesak kapitalisasi dan penyeragaman semua aspek kehidupan.Namun, warok-warok sepuh itu pada waktunya akan meninggal. Jika generasi berikutnya gagal menangkap dan melestarikan spirit warok, bisa jadi tradisi ini tinggal sejarah. Banyak orang Ponorogo yang memakai pakaian warok, tetapi semakin sulit menemukan warok.

Sumber: http://reyogponorogo.com



Reyog Versus Reog Dalam Politik Kebahasaan Kita

Sumpah Pemuda tahun 1928 mungkin merupakan sejarah penting bagi tonggak perkembangan Bahasa Indonesia. Sebab sejak disumpahkan oleh beberapa wakil dari daerah yang ada di Hindia Belanda (sebelum Indonesia merdeka), Bahasa Indonesia sebagai bahasa perakat, bahasa nasional, dan simbol persatuan. Walau Bahasa Indonesia telah menjadi media integrasi politik waktu itu, namun kelompok-kelompok masyarakat yang ada didaerah tetap memiliki kebebasan untuk mempribumisasikan Bahasa Indonesia itu dalam konteks dan dialek lokalnya masing-masing. Waktu terus bergulir, dan sejarah membuktikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi nasional. Tatkala Bahasa Indonesia telah mewujud menjadi bahasa negara, bukan semata-mata milik warga, maka bahasa itu segera distrukturisasikan, dibakukan, dan disempurnakan. Melalui kebijakan pembakuan Bahasa Indonesia yang baik dan yang benar seperti yang tercermin dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) itulah, seluruh pengajaran dan pendidikan nasional harus merujuk atas EYD itu. Barang siapa yang tak mengikuti ketentuan EYD dalam pemakaian Bahasa Indonesia, khususnya saat diruang publik (nasional), maka yang bersangkutan dapat dikatakan tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar, dan bisa-bisa tidak nasionalis. Sebab hanya dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, setidaknya identitas kebahasaa kita menjadi jelas dan tentu orisinal sebagai produk budaya bangsa. Konsekuensi atas hal itu, EYD menjadi kekuatan normatif yang bersifat “represif” dalam tata Bahasa Indonesia. Jika hal itu dilihat sebagai ketentuan “normatif” semata, tanpa mau menengok aspek politik dan sosiologi munculnya kata atau kalimat yang ada dalam Bahasa Indonesia, bisa jadi kita menjadi korban hegemoni. Padahal setiap kalimat, bahkan kata dalam sebuah bahasa, syarat dengan representasi dan pertarungan politik dan sosiologis. Sebagai satu contoh saya hendak saya kemukakan tentang kata reog dan reyog. Reog adalah kata baku yang masuk dalam kategori Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1999). Bahkan sampai sekarang kata itu menjadi slogan Kota di Ponorogo yang berarti (r) resik, (e) endahi, (o) omber, dan (g) girang gumirang. Kalau ditilik dari awal mulanya reog oleh sebagian besar budayawan dan warok kawakan di Ponorogo dituliskan reyog. Oleh para pemuka sosial tadi, reyog dimaknai berbeda dari negara yang telah menjadikan reog slogan kota itu. Kalangan budayawan dan warok mengartikan (r) rasa kidung (e) engkang sukmo adi luhung (y) Yang Widhi, Yang Agung, (o) olah kridaning Gusti (g) gelar gulung kersaneng Kang Moho Agung. Pemaknaan kata reyog yang sedemikian dalam dan penuh dengan artikulasi teologis yang telah bertahun tahun-tahun ini lenyap, tatkala negara masuk dalam kebijakan bahasa dan membuat standarisasi yang ujung ujungnya klaim benar-salah. Bahwa sesuatu yang tidak sama, khususnya dengan acuan yang dibakukan atau yang disempurnakan oleh negara itu dianggap salah dan harus dibenarkan. Al hasil, penulisan kata reyog oleh sebagian budayawan dan pewaris tradisi kesenian itu berubah menjadi reog karena kebijakan EYD itu. Hal ini jelas sekali kalau kita set back seperti masa orde baru lagi yang tidak memberikan wacana dan pembelajaraan bahwa perbedaan itu indah dan halal hukumnya. Akankah kita mengulangi lagi kesalahan masa lalu kita yang menempatkan bahasa menjadi alat kontrol politik dan membunuh tafsir apapun juga atas tampilnya sebuah kata? Kecintaan kita terhadap Bahasa Indonesia mestikah ditempatkan dalam klaim kebenaran yang dibuat oleh negara atau lembaga pengkaji bahasa yang direstui oleh negara? Atas dasar apa negara ikut ambil bagian dalam kebahasaan yang seharusnya menjadi miliki rakyat sepenuhnya? Untuk menjawab kedua pertanyaan diatas, dalam hemat penulis, kita perlu mengembalikan lagi aspek fungsi bahasa berikut tafsir yang ada didalamnya dalam kerangka sosiologis. Artinya bahasa adalah media komunikasi sosial yang meliputi kewilayahan tertentu. Karena bahasa menjadi milik sosial, maka seharusnya rakyat pulalah yang memiliki otoritas untuk merawat, menyemaikan, atau mengembangkan kebahasaan mereka sehari hari tanpa harus terintangi dengan hasrat politik negara yang tercermin dalam regulasi kebahasaannya seperti dalam EYD. Kegetolan sebagian budayawan reyog menuliskan kata reyog dengan memakai huruf (y) sejatinya dapat kita lihat dalam dua hal. Pertama, dalam ruang kebahasaan berbagai kalimat atau kata yang muncul dari publik, utamanya yang bertentangan dengan EYD adalah bagian dari artikulasi massa untuk “membungkam” dominasi kebahasaan yang dibuat oleh maisntream (baca: EYD). Ketiadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia disebagian besar rakyat Indonesia bukanlah mereka tidak mencintai Bahasa Indonesia. Justru dalam hemat penulis, rakyat sangat mencintai bahasanya. Sebab melalui Bahasa Indonesialah mereka melakukan pembangunan peradabannya hingga kini. Rakyat mencintai Bahasa Indonesia sama dengan mencintai diri dan bangsanya sendiri. Kalau rakyat tak mencintai Bahasa Indonesia, maka sudah pasti mereka akan mencampakkan Bahasa Indonesia dari bahasa komunikasi mereka sehari hari. Kedua, dari segi non kebahasaan, munculnya kata atau kalimat yang menyeleweng dari EYD nerupakan bentuk inovasi kreatif dari sebuah sistem budaya masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat yang banyak melahirkan kalimat atau kata asing yang “haram” dalam EYD memiliki wewenang penuh atas hidup matinya media komunikasi sosial mereka. Sebagai sistem budaya itu pula, rakyat memiliki kebebasan untuk mencampakkan, mengadopsi, dan memunculkan perbendaharaan kata guna mendukung kelangsungan sistem sosial mereka. Oleh karena itu kita mesti hati-hati dalam membangun sistem kebahasaan nasional, sebab jika ceroboh akan membunuh kearifan lokal yang telah mentradisi didaerah itu. Seperti dalam contoh diatas yang menyangkut kata reyog menjadi reog, negara telah mematikan pemahaman spiritualitas lokal yang telah berkembang berabad-abad lamanya. Kini banyak para pemangku tradisi reyog khususnya yang difasilitasi oleh negara mengalami kegagapan dalam menafsiri reyog, bahkan reyog yang mereka tampilkan telah menjadi “sekuler”, layaknya entertaint saja yang bersifat menghibur semata. Menghadapi ini semua, maka dalam hemat penulis, pertama; intervensi alat kelembagaan apapun yang dibuat atau diresmikan oleh negara untuk membuat standarisasi kata dalam Bahasa Indonesia segera dikaji kembali kewenangannya, bahkan kalau perlu dibubarkan saja. Sebab pelembagaan bahasa telah membunuh benih-benih perkembangan Bahasa Indonesia melalui klaim dan tafsir benar-salahnya. Kedua; berikan kembali kewenangan mengenai kebahasan ini kepada rakyat (desentralisasi bahasa), agar bahasa menjadi representasi praktek kultural sehari-hari masyarakat. Hal ini tentu membawa konsekuensi penulisan dan pengucapan sebuah kata yang bersifat heterogen, dan hal semacam itu sah-sah saja. Ketiga; perlunya dekontruksi pemahaman bahwa dengan pemakaian kata, baik dalam penulisan maupun pengucapan yang sesuai dengan EYD yang kemudian diasosiasikan dengan kebenaran selama ini. Selanjutnya melakukan rehabilitasi kebahasaan dengan menghilangkan corak pendidikan kebahasaan yang berujung pada klaim benar-salah. Hal ini dapat disegerakan melalui ruang publik seperti; media, ruang sekolah, atau ruang kantoran. Dan biarkan semuanya berkembang menjadi bahasa familier yang egaliter layaknya orang dipasar-pasar. Semoga!

Paring Waluyo Utomo - Penulis adalah Fellowship Desantara (Institute for Cultural Studies.), Jakarta


Pesantren & Politik di Ponorogo

Raden Katong, yang kemudian lazim di sebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri- meyakini Batoro Katong lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong alias Lembu Kanigoro bersama para pengikutnya antara lain Ki Selo Aji, Kiai Muslim (Ki Ageng Mirah) adalah pengemban misi suci melakukan ‘Islamisasi’ sekaligus ‘menundukkan’ tanah Wengker, sebuah daerah tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis. Yang kemudian kita kenal dengan nama Ponorogo.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefactbudaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai ‘totems’, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari ‘alam bawah sadar’ masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam ‘hiperealitas’, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Sebagaimana yang telah di sebutkan di depan, bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ‘ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo. Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Dalam konteks inilah penting, mencoba mencari kaitan antara ambisi-ambisi, cita-cita atau bahkan impian Batoro Katong sebagai Peng-Islam dan penguasa Politik Ponorogo dengan kultur politik yang muncul dikalangan pesantren yang tidak lain adalah para keturunan dan penerus ‘perjuangan’ Batoro Katong.

Oleh : Murdianto An-Nawie


REFLEKSI ATAS REYOG SEBAGAI IDENTITAS KULTURAL

Seperti diketahui bersama, Reyog Ponorogo telah dipilih oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ponorogo sebagai identitas kultural masyarakat setempat. Keterlibatan pemerintah setempat dalam kehidupan kesenian rakyat ini sangat jelas. Pemerintah Kabupaten Ponorogo memprakarsai penyelenggaraan festival (lomba) Reyog Ponorogo, membidani lahirnya Yayasan Reyog Ponorogo, menandai batas antara kabupaten Ponorogo dan Madiun dengan gapura berhiaskan relief dan patung menggambarkan reyog Ponorogo, menghiasi halaman kantor kabupaten, alun-alun, serta sejumlah perempatan jalan utama dengan patung tokoh-tokoh dalam legenda asal-usul kesenian tersebut, bahkan menciptakan REOG (Resik, Endah, Omber, Gilar-gumilar) sebagai slogan kabupaten.

1. Menetapkan Batas: Eksklusi & Inklusi
Mengapa reyog yang terpilih? Bukankah di wilayah kabupaten tersebut ada macam ragam kesenian? Satu alasan yang pasti adalah kesenian ini hidup subur di kalangan warga masyarakat kabupaten Ponorogo. Dari tahun ke tahun jumlah kelompok reyog yang hidup di wilayah kabupaten tersebut menunjukkan angka yang tinggi. Di tahun 1999/2000 tak ada satu pun kecamatan dari 20 kecamatan di wilayah Kabupaten Ponorogo yang tidak ‘memiliki’ kelompok reyog. Pada tahun itu tercatat ada 231 kelompok reyog di seluruh kabupaten; kecamatan Sawoo menyumbang angka terbesar: di sana terdapat 23 kelompok; sementara kecamatan yang paling sedikit dihuni oleh keompok reyog adalah Kauman dan Jambon – masing-masing sebanyak 4 kelompok. Popularitas kesenian ini di kalangan masyarakat setempat sudah terbentuk bahkan jauh sebelum reyog dicanangkan sebagai identitas kultural kabupaten.

Pertautan antara masyarakat/daerah Ponorogo dengan reyog juga sudah lama dikenal oleh masyarakat luar Ponorogo. Salah satu petunjuknya berupa sebuah lagu dolanan yang populer di Yogyakarta pada masa kecil saya (1960-an) yang syairnya berbunyi, “Jathilan Ponorogo, utang gethuk nyaur tela”. Bahkan, merujuk pada waktu yang lebih kuno, kita menjumpai Kitab Centhini di awal abad 19 yang menggambarkan reyog sebagai kesenian yang disukai masyarakat Ponorogo. Dengan demikian ada kesejajaran antara persepsi orang luar dan orang Ponorogo sendiri. Dari paparan ini, dapat ditarik pelajaran bahwa identitas dibangun dari sesuatu yang secara riil hadir dan berkembang dalam masyarakatnya, dan ‘diakui’ pula oleh orang luar.

Tetapi persoalannya tidak selesai sampai di situ, karena pada kenyataannya tidak semua orang Ponorogo menyukai reyog. Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Pendapa Kabupaten Ponorogo, Juli 2000, Bupati pada waktu itu mengungkapkan
“[di] Ponorogo itu ada dua kelompok masyarakat besar, yaitu masyarakat yang ber-ruang-lingkup keagamaan, para ulama, dan satu[nya] para warok. … Ada komplen (complaint) dari para ulama bahwa selain kota reyog Ponorogo ini adalah kota santri. … Lha ini menginginken nuansa pesantren ini bisa tampak.”

Serupa dengan pernyataan Bupati Markum Singodimejo di atas, Effendy (1988: 212) juga menyatakan bahwa

Secara kultural, Ponorogo dapat dipilah menjadi dua “wilayah kultural.” Mengikuti garis belahan di tengah, sebelah barat merupakan pusat dominasi budaya warok yang abangan. Sedangkan sebelah timur membentang ke selatan adalah daerah basis budaya santri dengan sentralnya di Tegalsari dan Gontor.

Ini merupakan contoh yang jelas mengenai ciri pilihan batas dari identitas. Walaupun barangkali terdapat lebih banyak orang Ponorogo yang menyukai kesenian ini, sehingga diasumsikan mereka tidak keberatan bila kesenian tersebut dipilih sebagai identitas kultural, namun sebenarnya ada pula warga masyarakat setempat yang memiliki aspirasi berbeda tentang identitas kultural mereka. Memutuskan reyog Ponorogo sebagai identitas kultural daerah, dengan demikian, dapat dipahami sebagai tindakan memilih untuk menampung aspirasi sejumlah warga Ponorogo dan tidak menampung aspirasi warga yang lain.

2. Lisan ke Tulisan: Kisah Asal-usul
Persoalan pilihan juga terjadi dalam hal kisah asal-usul dan bentuk pertunjukan reyog. Di kalangan masyarakat dan pelaku reyog di Ponorogo beredar berbagai versi cerita asal-usul kesenian tersebut. Begitu pula di sana juga terdapat sejumlah variasi pertunjukan reyog. Dengan demikian muncul persoalan: cerita asal-usul mana yang akan dipakai sebagai landasan penentuan reyog sebagai identitas lokal? Reyog macam apa yang dipilih?

Secara garisa besar, di Ponorogo paling tidak dikenal 3 (tiga) versi utama kisah asal-usul Reyog Ponorogo: Versi Bantarangin, Versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, dan Versi Batara Katong. Versi Bantarangin menyebut empat peran dalam reyog: seorang raja kerajaan Bantarangin bernama Kelana Sewandana, Patihnya yang bernama Bujang Ganong, sekelompok prajurit kavaleri kerajaan Bantarangin, dan Singa Barong penguasa hutan Lodaya. Sementara itu, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam hanya mengenal tiga peran: Bujang Ganong, sekelompok pasukan berkuda, dan Singa Barong. Dalam hal jumlah dan identitas peran dalam reyog Ponorogo versi Batara Katong sebenarnya tidak berbeda dari versi Bantarangin. Versi Batara Katong juga mengenal keempat peran di atas. Namun, berbeda dari versi Bantarangin, versi Batara Katong memahami ke empat peran dalam reyog tersebut sebagai rekaan Ki Ageng Mirah – salah seorang pengikut Batara Katong – dalam upayanya menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat Ponorogo pada abad XV (menjelang runtuhnya Majapahit).

Untuk mengatasi persoalan seperti itu pada bulan September 1992 pihak pemerintah kabupaten setempat membentuk sebuah tim kerja yang bertugas mempersiapkan sebuah naskah yang memuat aspek sejarah, kisah asal-usul, serta aspek filosofis kesenian rakyat tersebut; serta menguraikan tata rias dan busana, musik, peralatan, dan aspek koreografinya. Tim tersebut beranggotakan para seniman reyog Ponorogo, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintahan kabupaten. Hasil kerja tim tersebut berupa naskah berjudul Pembakuan Kesenian Reok Ponorogo Dalam Rangka Kelestarian Budaya Bangsa (Soemardi, 1992), yang dipresentasikan dalam sebuah saresehan di Pendapa Kabupaten Ponorogo, 24 Nopember 1992. Setelah mengalami sejumlah revisi, pada tahun 1993 naskah tersebut diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat dalam bentuk buku berjudul Pedoman Dasar Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Revisi terpenting dilakukan pada unsur sejarah dan legenda asal-usul. Semula naskah Pembakuan hanya mencantumkan satu varian dari versi Bantarangin.

Dalam buku Pedoman Dasar dimuat ketiga versi utama kisah asal-usul reyog Ponorogo dan ditempatkan secara kronologis. Versi Bantarangin yang merujuk pada jaman kerajaan Kediri (abad XI) dianggap sebagai versi tertua diletakkan pada bagian paling awal, disusul oleh versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Krtabumi di Majapahit (abad XV), dan diakhiri oleh versi Batara Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada abad XV pula (ditandai dengan dikalahkannya Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Budo oleh Batara Katong yang beragama Islam). Dengan cara pandang seperti itu, pemerintah setempat menempatkan versi Batara Katong sebagai bentuk perkembangan terakhir, dan mendudukkan upaya pemerintah setempat di akhir abad XX sebagai kelanjutannya.

Bisa diperkirakan bahwa persoalan kisah asal-usul reyog Ponorogo ini mengundang perbantahan di kalangan pelaku kesenian tersebut. Sejumlah tokoh masyarakat dan praktisi reyog yang hadir dalam saresehan pada waktu itu menceritakan kembali bagaimana suasana pertemuan tersebut berubah menjadi arena perdebatan yang sengit antara pihak-pihak yang bersikukuh pada ‘kebenaran’ kisah yang diyakininya. Sebuah bentuk argumentasi tipikal dalam perdebatan mengenai ‘kebenaran’ kisah asal-usul Reyog Ponorogo adalah pertanyaan mengenai ketuaan periode sejarah yang dirujuk oleh masing-masing cerita. Pertanyaan semacam ini biasanya diajukan untuk mengklaim bahwa versi yang merujuk pada periode sejarah yang lebih tua dianggap lebih otentik. Memakai tolok ukur serupa itu, maka versi Bantarangin yang merujuk pada abad XI (masa kerajaan Kediri) dipandang sebagai kisah yang lebih otentik. Namun, klaim serupa itu mendapat tantangan dari pihak lain yang menggunakan tolok ukur ‘kebenaran’ berbeda. Sekedar sebagai contoh, mereka yang tidak sepakat dengan versi Bantarangin, meragukan kebenaran versi Bantarangin karena terdapat kejanggalan antara gelar yang disandang oleh guru dari raja Bantarangin (Kelana Sewandana), yakni Sunan - yang bernuansa Islam, dengan periode sejarah yang dirujuknya, yaitu jaman kerajaan Kediri yang Hindu. Dalam perbantahan semacam itu ‘kebenaran’ juga sering ditegakkan dengan cara menemukan kesesuaian antara nama-nama yang disebutkan dalam cerita dengan kondisi alam suatu daerah. Contohnya, orang menanggapi nama Bantarangin sebagai kerata basa dan menafsirkannya sebagai petunjuk mengenai sebuah lokasi di mana angin bertiup dengan kencang (Jawa: banter). Penafsiran semacam itu kemudian dicocokkan dengan kondisi alam daerah Sumoroto yang diyakini sebagai lokasi kerajaan Bantarangin. Bahkan nama Sumoroto pun juga ditafsir sebagai petunjuk mengenai daerah yang datar (Jawa: rata).

Bagi saya, bentuk perbantahan tipikal semacam itu menegaskan bahwa sebenarnya kisah-kisah asal-usul reyog Ponorogo tersebut merupakan tradisi tutur atau verbal arts. Seperti dikemukakan Richard Bauman (1977), tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal yang dinyatakan lewat penuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan kebenaran yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti empiris. Yang ‘benar’ dalam tradisi lisan adalah fakta empiris bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang menyatakan sesuatu dan pernyataan itu diungkapkan dalam cara-cara tertentu untuk memikat pendengarnya. Dengan kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih penting daripada kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan yang berkembang mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai persoalan pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut membawa serta pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju ‘kebenaran’ tekstual yang statis. Perbantahan yang berlangsung dapat dipahami sebagai reaksi atas pengebirian sifat dinamis, temporal, dan negotiability dari ‘kebenaran’ wacana lisan. Ketika kisah asal-usul yang semula bersifat lisan dan ephemeral (habis dalam waktu) dibakukan atau dibekukan dalam bentuk tulisan yang melintasi batas waktu maka ruang-ruang manuver untuk melakukan re-interpretasi dan kontekstualisasi menjadi kian terbatas. Dari sudut pandang semacam ini, menetapkan satu versi kisah asal-usul Reyog Ponorogo seperti halnya buku Pedoman bisa dipahami sebagai pemasungan kreativitas tafsir dan otoritas penutur. Dalam bentuk teks, ‘kebenaran’ dimonopoli oleh sebuah tafsir yang beku.

3. dari Tulisan ke Pertunjukan
Melengkapi penyusunan naskah Pembakuan, tim kerja bentukan pemerintah Kabupaten Ponorogo juga mempersiapkan sebuah pertunjukan Reyog Ponorogo yang memeragakan format pertunjukan hasil kerja tim. Selaras dengan posisi yang diambil tim kerja terhadap kisah asal-usul reyog, format pertunjukan tersebut disusun berdasarkan kisah tentang Kelana Sewandana yang muncul baik dalam versi Bantarangin maupun dalam versi Batara Katong.

Kehadiran naskah Pembakuan, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku Pedoman, juga membawa akibat pembakuan ragam peran dan jumlah pemeran yang tampil dalam pertunjukan. Salah satu bentuk ‘pembakuan’ yang problematis adalah kehadiran tokoh Kelana Sewandana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pertunjukan Reyog Ponorogo. Pertunjukan reyog di desa-desa seringkali tidak menampilkan peran Kelana Sewandana, bahkan banyak kelompok reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo tidak memiliki pemain pemeran tokoh ini. Hasil wawancara dengan sejumlah praktisi kesenian rakyat ini mengesankan bahwa sebenarnya bagi kebanyakan kelompok reyog setempat kehadiran Kelana Sewandana bukan keharusan. Seorang mantan aktivis reyog di desa Sawoo berusia sekitar 70 tahun menuturkan bahwa pada tahun 1950-an kelompoknya kadang-kadang menampilkan Kelana Sewandana. Dituturkan pula bahwa pemeran Kelana Sewandana desa tersebut sering menyisipkan tembang jenis palaran dalam pementasan. Namun, ketika pemeran tersebut meninggal dunia, cukup lama kelompok reyog desa Sawoo tersebut tidak menampilkan peran raja Bantarangin tersebut. Baru pada akhir tahun 1990-an, setelah di desa Sawoo ada seorang pemuda yang menempuh pendidikan tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, maka kelompok reyog desa tersebut memiliki pemeran Kelana Sewandana lagi. Kelangkaan pemeran tokoh Kelana Sewandana merupakan hal yang lumrah dalam lingkungan kelompok reyog desa di Ponorogo. Langkanya pemeran Kelana Sewandana sering dijelaskan sebagai akibat dari tuntutan teknis tari yang tinggi bagi pemeran tokoh ini. Asumsi semacam ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar pemeran Kelana Sewandana yang ada di wilayah Kabupaten Ponorogo adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan tari; baik di pendidikan formal maupun di sanggar-sanggar tari di dalam atau luar kabupaten.

Dewasa ini, meskipun terdapat semakin banyak orang yang dapat memerankan Kelana Sewandana, kemunculan tokoh raja Bantarangin ini dalam pertunjukan di desa-desa pun masih relatif jarang. Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan penari pemeran Kelana Sewandana hanya muncul secara terbatas pada acara-acara tanggapan yang bersifat formal, misalnya pada acara perkawinan. Pada acara-acara yang bersifat komunal dan kurang formal, misalnya bersih desa atau kaulan nadar, umumnya tokoh raja Bantarangin ini tidak ditampilkan. Selain itu, terdapat kesan bahwa tampil-tidaknya Kelana Sewandana juga bertalian dengan besar-kecilnya uang tanggapan yang dibayarkan si empunya hajat kepada rombongan reyog. Bila jumlah uang tanggapan dirasa memadai, mereka akan menampilkan Kelana Sewandana, kalau perlu dengan menyewa penari dari kelompok lain.

Di samping menetapkan Kelana Sewandana sebagai peran pokok pertunjukan reyog, hasil rumusan tim kerja tadi juga menyuntikkan peran baru: warok. Walaupun kisah asal-usul reyog pada umumnya tidak menyinggung soal warok, termasuk dalam kisah Kelana Sewandana yang dipilih sebagai dasar penyusunan format pementasan, tim perumus menetapkan keberadaan peran warok dalam pertunjukan reyog. Memang benar, masyarakat Ponorogo mengenali adanya kaitan antara reyog dan warok. Namun, kaitan tersebut umumnya dipahami sebagai hubungan antara kesenian dan penggemar fanatik atau patronnya. Lain tidak.

Dimasukkannya warok ke dalam struktur pertunjukan reyog bisa dipahami sebagai upaya pemerintah setempat menampilkan warok sebagai ciri lain masyarakat setempat. Tapi, dalam hal ini pun terjadi proses seleksi mengenai citra warok seperti apa yang hendak ditampilkan. Penulis menjumpai ada perbedaan signifikan antara persepsi masyarakat luas mengenai warok dan gambaran yang ditampilkan pemerintah kabupaten. Bagi orang kebanyakan di Ponorogo, warok merupakan istilah kategoris yang disandangkan pada orang dengan kualifikasi tertentu, terutama kualifikasi fisik berupa kesaktian atau kekebalan. Mereka mengenakan sebutan warok pada seseorang dengan mempertimbangkan: Apakah dia pernah membunuh seseorang? Apakah dia mempan dibacok? dan sebagainya. Karena warok adalah gelar yang disandangkan masyarakat luas pada seseorang, maka pada dasarnya status kewarokan tidak bisa diklaim oleh diri sendiri, tak satu pun orang di Ponorogo yang menyatakan diri sebagai warok.

Gambaran yang ada di kalangan warga setempat ini berbeda dengan gambaran warok yang dipromosikan pemerintah setempat, yakni orang yang mumpuni dalam olah batin – tidak adigang, adigung, adiguna. Gambaran semcam ini tentu jauh berbeda dengan angan-angan masyarakat luas mengenai ciri-ciri fisik warok. Mengikuti jalan pikir pemerintah setempat, besar kemungkinan seorang warok tidak berpawakan tinggi, besar, berwajah seram dengan kumis melintang seperti ditengarai orang Ponorogo pada umumnya; melainkan orang yang kurus ceking lantaran sering berpuasa menjauhkan diri dari hawa nafsu duniawi. Anehnya, buku Pedoman Dasar terbitan pemerintah tetap menggunakan gambaran warok versi masyarakat luas sebagai acuan dasar penuangan artistik, sebagaimana tampak dalam hal kostum (telanjang dada, atau kemeja terbuka), rias (kumis dan jenggot palsu, bulu dada, olesan pemerah di pipi, penebalan alis), maupun dalam tata gerak (adegan perkelahian dan latihan bela diri).

Kiranya tidak sukar dipahami bahwa ditetapkannya warok sebagai salah satu jenis peran yang muncul dalam pertunjukan Reyog Ponorogo mengundang berbagai tentangan. Mereka yang mempersoalkan kemunculan warok sebagai salah satu peran pertunjukan reyog kebanyakan mengacu pada kisah asal-usul Reyog Ponorogo dan menegaskan bahwa tak ada satu pun kisah-kisah tersebut yang menyebut warok sebagai salah satu tokoh sejak mula-jadi. Memang benar, dalam masyarakat Ponorogo beredar kisah-kisah heroik tentang kehebatan beberapa orang warok di masa lalu, bahkan salah satu kisah yang sangat populer sering diceritakan kembali dalam kesenian ketoprak. Sebagai contoh, tokoh warok legendaris yang bernama

Warok Suramenggala diyakini sebagai salah satu anak Suryangalam, yang sepeninggal ayahnya bermusuhan dengan kakak kandungnya, yaitu Warok Gunaseca. Namun kebanyakan orang Ponorogo berpendapat bahwa sumber dan periode yang dirujuk oleh kisah asal-usul reyog Ponorogo terpisah dari cerita dan periode kemunculan fenomena warok. Mereka menganggap cerita tentang Suramenggala berbeda satu generasi dengan cerita asal-usul reyog versi Batara Katong, sehingga penggabungan kedua cerita itu dengan menampilkan peran warok dirasa mengacaukan orientasi waktu yang dilukiskan pertunjukan reyog Ponorogo. Lagi pula, pada umumnya pertunjukan reyog di desa-desa memang tidak menampilkan warok sebagai salah satu peran pertunjukan.

Dari ulasan di atas kiranya dapat dikenali berlapis-lapis problem yang niscaya menghadang setiap pemilihan dan penentuan pertunjukan rakyat sebagai identitas kultural daerah. Dengan mengungkap tantangan dan hambatan tersebut penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa penggunaan pertunjukan rakyat sebagai identitas daerah selalu berdampak negatif bagi kelangsungan-hidup pertunjukan rakyat tersebut. Ulasan di atas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa penetapan identitas kolektif niscaya melibatkan urusan pemilihan dan penetapan di mana garis pembeda akan diletakkan. Tantangan dan hambatan tersebut bukannya sesuatu yang harus dihindari – karena memang tak bisa dihindari – melainkan harus dihadapi bersama oleh seluruh stake holders pertunjukan rakyat. Idealnya, meskipun pemerintah daerah merupakan salah satu stake holder yang kuat posisi tawarnya, hendaknya kekuatan tersebut dipergunakan secasra bijak dengan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan pemasungan imajinasi, hasrat dan kreativitas rakyat pemilik pertunjukan itu sendiri.

Festival dan Beberapa Dampaknya

Seperti telah disinggung di depan, hasil kerja tim perumus juga diwujudkan dalam bentuk format pementasan Reyog Ponorogo. Format pertunjukan inilah yang kemudian dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan festival (lomba) Reyog Ponorogo yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Uraian berikut akan mengulas perihal penggunaan festival sebagai sebuah cara sosialisasi pertunjukan rakyat dan dampak-dampak yang menyertainya.

1. Format “Massal 93”: awal pembakuan dan dampaknya
Pementasan perdana format pertunjukan hasil kerja tim perumus dilaksanakan dengan melibatkan sejumlah besar kelompok reyog yang ada di desa-desa di seluruh wilayah Kabupaten Ponorogo. Dalam persiapannya, anggota kelompok-kelompok reyog desa tersebut dilatih oleh sejumlah anggota tim untuk memeragakan format pertunjukan yang disusun. Latihan diselenggarakan secara terpisah antara jenis peran satu dengan peran yang lain. Masing-masing kelompok pemeran, seperti Kelana Sewandana, jathil, Bujang Ganong, Dhadhak Merak dan warok, dilatih oleh instruktur yang berbeda. Selain itu juga dilakukan pelatihan bagi para pemain musik. Format baru tersebut kemudian digunakan sebagai format baku festival reyog se kabupaten Ponorogo sejak tahun 1993. Untuk menandai sifat massive dan saat sosialisasi format pertunjukan reyog baru tersebut, sejumlah praktisi reyog menyebutnya ‘massal 93.’

Strategi yang ditempuh untuk mempromosikan format pertunjukan reyog baru tersebut menyebabkan tersebar luasnya format ‘massal 93’ di hampir seluruh kelompok reyog se Kabupaten Ponorogo. Pada tahun 2000, pengaruh format ‘massal 93’ masih dapat disaksikan pada banyak kelompok reyog di berbagai desa. Pola gerak yang cenderung seragam dengan cukup mudah dapat terdeteksi pada sajian gerak pemeran jathil, terutama pada pementasan dalam acara-acara yang agak resmi. Dalam wawancara penulis dengan sejumlah penari jathil yang sering muncul dalam acara-acara tanggapan di desa terungkap informasi bahwa mereka belajar tari jathil dari pendahulunya yang mengikuti pelatihan format ‘massal 93’ atau yang ikut dalam festival tingkat kabupaten. Dengan demikian, dari sisi artistik telah terjadi semacam penyeragaman pertunjukan reyog Ponorogo – paling tidak dalam konteks perlombaan.

Tersebar-luasnya format ‘massal 93’ di kalangan praktisi reyog di desa-desa mempunyai dampak non artistik pula, yakni terbukanya peluang bagi pementasan bersama atau peminjaman penari dan pemusik antar kelompok reyog desa. Kesamaan gerak dan musik pengiring yang dibawa oleh format ‘massal 93’ membuka peluang bagi terjadinya kerjasama antar kelompok reyog. Dewasa ini fenomena seorang penari jathil dari wilayah Barat Ponorogo yang bermain dalam pentas kelompok reyog desa di wilayah Timur Ponorogo sudah menjadi kejadian yang lazim.

Menurut keterangan seorang mantan praktisi reyog yang sudah lanjut usia, pada masa silam praktik peminjaman atau pementasan bersama seperti itu sulit terjadi. Di masa itu, proses proses transfer artistik berlangsung secara terbatas dalam kelompok desa, bahkan pengendang dalam sebuah kelompok desa tidak selalu mampu mengiringi gerak tari kelompok dari desa lain. Hal-hal tersebut membatasi kemampuan terjadinya kerjasama antar kelompok reyog desa. Sejajar dengannya, tulisan-tulisan tentang kehidupan reyog Ponorogo di masa silam mencatat sering terjadinya perkelahian antara dua atau lebih kelompok yang berpapasan di sebuah jalan. Laporan semacam itu menggambarkan adanya identifikasi yang kuat para pemain pada kelompok reyog desanya. Kondisi semacam ini mulai berubah sejak diperkenalkannya format ‘massal 93’ sebagai sebuah format pertunjukan yang diharapkan berlaku bagi setiap kelompok reyog yang ada di kabupaten Ponorogo.

Perubahan menuju kerjasama antar kelompok tersebut juga dapat ditafsir sebagai pegeseran orientasi identifikasi masyarakat Ponorogo terhadap reyog, yakni dari yang semula merupakan identifikasi berlingkup desa, pada masa kini bergeser menjadi identifikasi berlingkup kabupaten. Loyalitas dan afiliasi praktisi reyog Ponorogo telah melebar dari lingkup desa ke lingkup kabupaten. Gejala serupa itu juga terlihat pada semakin sering terjadinya peminjaman pemain antar kelompok desa dalam festival tingkat nasional, ketika ‘nama baik’ yang dipertaruhkan tidak lagi sekedar nama desa melainkan nama kabupaten.

Mencairnya ikatan emosional pada kelompok reyog desa dan semakin seringnya praktek peminjaman dan pentas gabungan antar kelompok reyog desa mengakibatkan tumbuhnya bibit profesionalisme di kalangan sebagian praktisi reyog di kabupaten tersebut. Tidak disangkal bahwa ‘profesionalisme’ yang tumbuh di kalangan praktisi reyog Ponorogo saat ini cenderung masih terbatas pada pengertian ‘bayaran’ yang tidak selalu diikuti dengan etos kerja atau semangat memberi pelayanan yang terbaik. Namun pantas dicatat bahwa gejala semacam ini telah membuka cakrawala bagi praktisi reyog Ponorogo untuk secara individual meningkatkan komitmen artistiknya. Pada saat ini, fenomena pemain ‘bayaran’ dapat dijumpai pada penari jathil, Bujang Ganong, Kelana Sewandana, dan Singa Barong. Satu-satunya peran yang gerak pergeserannya menuju profesionalisme lebih lamban adalah pemeran warok. Barangkali hal ini berkaitan dengan kurang populernya peran warok dalam penilaian masyarakat setempat. Di antara peran-peran tersebut, para pemeran jathil lah yang memiliki peluang terbesar untuk menjadi profesional. Biasanya remaja-remaja perempuan penari jathil yang berparas cantik dan berpawakan besar, luwes, murah senyum dan berani bergoyang di hadapan publik yang sebagian besar adalah laki-laki berpeluang untuk lebih sering ditanggap atau ‘dibon’ oleh kelompok-kelompok reyog desa.


2. Festival Tingkat Nasional: Titik Balik Keseragaman
Sejak tahun 1995 pemerintah Kabupaten Ponorogo memperluas ruang lingkup festival reyog dari tingkat kabupaten menjadi tingkat nasional. Peningkatan ruang lingkup festival tersebut mendapat sambutan baik, terbukti dari keikut-sertaan peserta festival dari berbagai propinsi di Pulau Jawa maupun luar pulau. Bahkan pernah datang pula peserta dari Suriname. Namun, semenjak ditingkatkan menjadi festival tingkat nasional terjadi pula sebuah awal “arus balik” terhadap ‘pembakuan’ format pertunjukan kesenian rakyat ini. Diadu dengan kelompok-kelompok dari luar Ponorogo dan dinilai oleh dewan yuri yang umumnya berlatar-belakang pendidikan formal seni tari, kelompok-kelompok reyog wakil Kabupaten Ponorogo ternyata jarang menempati posisi juara pertama. Secara agak konsisten, dari tahun ke tahun para pemenang pertama festival adalah kelompok-kelompok yang datang dari Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Kelompok-kelompok pemenang tersebut menampilkan bentuk garapan pertunjukan secara lebih kreatif dan bervariasi dari tahun ke tahun.
Pengalaman kekalahan berulang kali dalam festival tingkat nasional memicu kesadaran kritis sementara praktisi reyog di Ponorogo mengenai sisi negatif dan tidak-produktifnya pendekatan pembinaan yang terpatok pada format ‘baku’ seperti yang ditempuh saat itu. Kesadaran tersebut berangsur-angsur mendorong praktisi reyog Ponorogo di Kabupaten Ponorogo untuk tidak lagi menyikapi format yang ditentukan dalam buku Pedoman Dasar sebagai format ‘baku,’ melainkan sebuah alternatif format penyajian.

Seiring dengan tumbuhnya cara penyikapan baru terhadap format pertunjukan yang tercantum dalam buku Pedoman Dasar, pelaksana pembinaan kelompok reyog di kabupaten tersebut mulai mengubah metode pembinaan kelompok reyog. Awalnya, mereka masih menerapkan model penataran bagi kelompok-kelompok reyog yang akan mengikuti festival. Namun berbeda dari model penataran yang dilakukan sebelumnya, kali ini kepada para peserta diajarkan bentuk-bentuk garapan baru yang sudah dikembangkan dari format ‘massal 93.’ Penggarapan terutama dilakukan pada peran jathil dan warok. Keserempakan, dinamika, dan gerak-gerak atraktif merupakan hal-hal yang hendak dicapai lewat garapan-garapan tersebut.

Namun ternyata garapan-garapan baru mereka pun tidak dengan segera mengantar kelompok-kelompok reyog asal Kabupaten Ponorogo ke posisi juara. Berbagai tanggapan mengenai keadaan tersebut muncul di kalangan praktisi reyog Ponorogo di kabupaten tersebut. Sebagian besar tanggapan menyiratkan ‘kefrustasian’ mereka. Sebagai contoh, seorang penata tari kelompok Pujangga Anom dari desa Kauman, Kecamatan Sumoroto yang cukup disegani di kalangan praktisi reyog Ponorogo menyatakan bahwa kelompoknya tidak akan pernah mampu mengejar, menyamai atau bahkan melebihi capaian artistik kelompok reyog dari Jakarta. Ia mengungkapkan kefrustasiannya dengan berkata, “Dioyak ngene, dheweke ganti ngono; dioyak ngono, dheweke ganti ngene” (Dikejar begini, dia berganti begitu; dikejar begitu, dia berganti begini).

3. Dari Penataran Menuju ‘Bengkel-Kerja’
Salah satu bentuk model pembinaan terakhir adalah diterapkannya pendekatan ‘bengkel-kerja’ (workshop) pada kelompok-kelompok reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya pembinaan dilakukan dengan model penataran, yakni melatihkan format yang sudah jadi kepada peserta penataran, pada tahun 2000 dilakukan pembinaan yang menitik-beratkan pada pembekalan daya kreatif peserta latihan dalam bidang penciptaan garapan. Dalam metode bengkel-kerja para peserta dibekali dengan pemahaman tentang karakter masing-masing tokoh peran yang tampil dalam Reyog Ponorogo, dasar-dasar olah tubuh dan gerak yang mencerminkan jenis karakter tersebut, kemudian didorong untuk mengembangkan ragam gerak yang sesuai dengan karakter masing-masing tokoh peran tersebut. Proses kreatif tersebut dilakukan dalam lima kelompok kecil berdasarkan kesamaan kawedanan, yang masing-masing kelompok terdiri dari anggota sejumlah kelompok reyog desa. Sebagai hasilnya, pola pembinaan bengkel-kerja tersebut membuahkan lebih dari satu macam format pertunjukan, sehingga pada festival Reyog Ponorogo tingkat Nasional tahun 2000 penampilan kelompok reyog dari kabupaten tersebut menjadi lebih beragam. Terlepas dari prestasi yang berhasil atau gagal diraih kelompok-kelompok reyog Ponorogo dari kabupaten tersebut pada festival tahun 2000 dan sesudahnya, sejak saat itu sebenarnya tidak lagi berlaku penyeragaman format pertunjukan reyog Ponorogo di kabupaten tersebut, paling tidak dalam hal penataan-tari. Namun demikian, kisah asal-usul yang dirujuk sebagai landasan penggarapan artistik sebenarnya masih tetap standard, yakni versi Batara Katong.

4. Tumbuhnya kelas-kelas pemain
Seperti telah diungkapkan di depan, sejak tahun 1995 telah terjadi perubahan ruang lingkup festival, yaitu dari ruang lingkup se Kabupaten Ponorogo menjadi berskala nasional. Seiring dengan perubahan ruang lingkup tersebut, peserta festival yang berasal dari kelompok reyog desa di Ponorogo menjadi semakin sedikit jumlahnya. Berkurangnya jumlah kelompok reyog asal Ponorogo yang mengikuti lomba tingkat nasional membatasi jangkauan pengaruh festival tingkat nasional bagi pengembangan artistik kelompok reyog di kabupaten tersebut. Namun demikian, peningkatan level festival memberi dampak non-artistik.

Pada dasarnya lomba apa pun akan membuahkan jenjang atau kelas. Serupa dengannya, hasil festival reyog Ponorogo selalu berupa penjenjangan kelompok dan individu pemain yang berkualitas tinggi dan rendah. Dalam lingkup lokal Ponorogo, kondisi semacam ini mendorong munculnya seleksi pemain-pemain berkualitas tinggi – menurut ukuran setempat – bagi kejuaraan-kejuaraan berlingkup nasional. Lewat mekanisme seperti itu terciptalah kelas pemain festival (nasional) dan kelas pemain tanggapan di desa-desa. Dalam praktek, seringkali para pemain kelas festival adalah mereka yang tergabung dalam sanggar-sanggar tari di Ponorogo. Mereka dipandang telah memiliki dasar-dasar ketrampilan yang sesuai dengan kriteria penilaian artistik para yuri dan lebih mudah dibentuk. Garis batas antara kedua kelas pemain tersebut menjadi semakin tegas seiring dengan peningkatan festival dari tingkat kabupaten menjadi tingkat nasional, ketika peserta penataran dan workshop bagi aktivis reyog lokal makin terbatas pada sejumlah kecil kelompok dan penari tertentu. Beberapa penata tari menyatakan keengganannya melatih penari-penari jathil yang terbiasa berpentas di desa-desa yang dalam ukuran mereka kebanyakan hanya menari ‘apa adanya.’ Beberapa penata tari menyebut penari jathil di desa-desa dengan sebutan “jathil obyokan” – sebuah sebutan yang bernuansa pejoratif dan merujuk pada sikap dan cara menari yang seenaknya. Di lain pihak para penari kelas festival pun enggan menari di tanggapan desa-desa, terutama dalam acara komunal, karena acara-acara serupa itu dipandang kurang bergengsi serta cenderung menonjolkan sisi erotik.

Catatan Penutup
Demikianlah, dengan mengambil contoh pada penetapan reyog sebagai identitas kultural kabupaten Ponorogo dan strategi sosialisasinya lewat festival dapat terrefleksi sejumlah persoalan yang menyertai pemanfaatan pertunjukan rakyat bagi penguatan jatidiri. Sumber utama dari persoalan itu berkaitan dengan pemilihan atau seleksi batas-batas, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (membedakan). Ini berarti bahwa pemanfaatan adat dan tradisi bagi penguatan jatidiri mempunyai sejumlah problematika yang harus dihadapi dan dipecahkan. Mau tidak mau, dimensi politis, eknomomis, sosial, individual akan terlibat di dalamnya. Kiranya yang dapat dan perlu dijadikan pegangan adalah upaya mengakomodasi kepentingan orang banyak dan mendahulukannya di atas kepentingan kelompok dan pribadi, karena tanpa adanya dukungan orang banyak tradisi atau adat yang dipilih hanya akan menjadi semacam pameran artefak yang tak disangga dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu memerlukan sikap kelenturan, karena kesenian dan warga masyarakat pendukungnya pada dasarnya dinamis.

Sebagai penutup kiranya ada baiknya ditambahkan catatan singkat tentang dinamika reog Ponorogo yang berlangsung di luar koridor pembinaan pemerintah setempat. Pertunjukan reyog di desa-desa di Ponorogo belakangan ini semakin sering menampilkan fenomena baru: reyog digambyongke – reyog yang disajikan seperti gambyong . Sebutan lokal tersebut diberikan untuk menandai pertunjukan reyog yang menyajikan tarian para wanita penari jathil tanpa kuda kepang diiringi lagu-lagu yang diminta para lelaki yang ikut menari di sekeliling penari jathil. Permintaan lagu dilakukan dengan memberi sejumlah uang kepada pemain musik (biasanya pemain kendang). Perkembangan serupa ini merupakan inisiatif masyarakat lokal sendiri. Beberapa pimpinan kelompok reyog desa yang dijumpai pada tahun 2000 mengatakan bahwa saat ini kalau tidak ikut-ikutan seperti itu (digambyongke) rombongannya tidak akan laku. Kemunculan varian ini merupakan contoh bahwa masyarakat mempunyai imajinasi, gairah dan daya kreatif mereka sendiri – yang tidak selalu selaras dengan rancangan besar pemerintah lokal maupun pusat. Menghadapi fenomena seperti itu, kiranya diperlukan kelenturan sikap terhadap pertunjukan rakyat dan pendukungnya. Syukurlah, pemerintah Kabupaten Ponorogo tidak serta-merta melarang dinamika lokal semacam itu.

Disunting dari www.belajarsejarahsosial.blogspot.com

REFERENSI

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies.Theory and Practice. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications

Barth, Frederick. 1969. ‘Introduction’ dalam Ethnic Groups and Boundaries. The Social Organization of Cultural Difference, Frederick Barth (Ed.), Oslo: Universitetsforlaget

Bauman, Gerd. 1999. The Multicultural Riddle. Rethinking National, Ethnic, and Religious Identities. New York and London: Routledge

Bennet, David (ed.). 1998. Multicultural States. Rethinking Difference and Identity. London and New York: Routledge

Bruner, Edward M., 1986, “Experience and Its Expressions” in Turner, Victor W. & Bruner, Edward M. (Eds.), The Anthropology of Experience, pp. 1-30, Urbana, Chicago: University of Illinois Press

Durham, Meenakshi Gigi, dan Dougles M. Kellner (eds.). 2006. Media and Cultural Studies. Keyworks. (revised edition), Malden, Oxford, Carlton: Blackwell Publishing

Eriksen, Thomas Hylland. 1993. Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perpsectives. London: Pluto Press

____________________ 1997. ‘Multiculturalism, Individualism and Human Rights: Romantic-ism, the Enlightment and Lessons from Mauritius’ dalam Human Rights, Culture and Contexts: Anthropological Perspectives, Richard A. Wilson (Ed.), London: Pluto Press

Gordon, Avery F., dan Christopher Newfield (eds.). 1996. Mapping Multiculturalism. Minneapolis/London: University of Minnesota Press

Madison, D. Soyini. 2005. Critical Ethnography. Method, Ethic and Performance. Thhousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications

Rex, John. 1994a. ‘Ethnicity’ dalam The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thoughts, William Outhwaite & Tom Bottomore (Eds.), Oxford: Basic Blackwell

_________1994b. ‘Race’ dalam The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thoughts, William Outhwaite & Tom Bottomore (Eds.), Oxford: Basic Blackwell

Zubaida, Sami. 1994. ‘Racism’ dalam The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thoughts, William Outhwaite & Tom Bottomore (Eds.), Oxford: Basic Blackwell


Batoro Katong dalam Tradisi Lesan

Sejarah lesan, yang berkembang dari mulut ke mulut satu generasi selanjutnya menjadi penting posisinya, terutama dalam kaitan analisis psiko historis. Karena dari sejarah lesan, yang berkembang inilah muncul imajinasi, struktur keyakinan dan nilai masyarakat. Terlepas, dari apakah sejarah lesan tidak merupakan hasil obyektif dari penelitian sejarah? atau sering bercampur dengan berbagai mitologi? Sejarah yang berkembang lewat tradisi lesan, bahkan menjadi semacam belief sebagaimana telah di sebutkan di atas. Dibawah ini akan, mencoba di deskripsikan beberapa hasil investigasi, penelitian dokumen yang kesemuanya tidak lain adalah pernyataan lesan beberapa tokoh dan sesepuh dimasing-masing komunitas di Ponorogo.

Sebagaimana telah di ulas di awal tulisan ini bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fattah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di Islamkan oleh wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putrid Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Tokoh yang terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu. Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini namakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri di simbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di anggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus ‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ‘investigasi’ terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang kemudian di kenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan di jadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang ‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini di sebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini di mungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah ‘dihilangkannya’ Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota. dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti. Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang menjadi figur yang di idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan ‘genealogi’ kultur politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo, setidaknya dapat dimulai dari titik ini.

Dan terdapat dua konklusi penting yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama, upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua, mereka yang memiliki kultur berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan dengan nilai agama, berarti juga adalah musuh secara politis yang harus ‘di kuasai’ dan kemudian ‘di beradabkan’. Ketiga, untuk melakukan proses memberadabkan masyarakat melalui agama, dan melakukan proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif yang ada dalam masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).

(Kepala Divisi Penerbitan P3M INSURI PONOROGO,


Reyog dan Persaingan Pasar

Sebagai awal perayaan HUT 715 kota Surabaya, Minggu 27-4-2008 warga Surabaya dihibur tontonan konvoi karnaval yang meriah dan murah, meriah sebab iringan pawai di ikuti berbagai komponen bangsa, ada TNI-AL, DKP, iringan kendaraan berhias bunga, dan terakhir 10 dadak Merak Reog Ponorogo, murah sebab bisa ditonton warga Surabaya tanpa dipungut karcis.

Inisiatif Wali Kota Surabaya Bambang DH merayakan HUT dengan acara yang memberikan hiburan bagi warga kota sungguh sangat “pas”, mengingat fakta akhir – akhir ini warga Surabaya banyak dipusingkan dengan berbagai masalah seperti naiknya harga – harga sembako dll. Dalam ilmu ekonomi disebut Human Invesment, membikin warga Surabaya riang dan gembira agar besok kerja lebih giat dan produktifitas kerja meningkat.

Pesatuan unit – unit Reog Ponorogo Surabaya sangat senang dan bangga karena pada event konvoi itu Reog Ponorogo yang sudah diakui di dunia sebagai tari topeng terbesar di dunia bisa tampil secara tunggal tanpa diikuti tari topeng lainnya yang sebenarnya adalah produk jasa impor. Tari Topeng ukuran besar selain Reog Ponorogo yang dari aspek ekonomi adalah produk jasa asal impor menjadi “pesaing berat” bagi tari topeng produk asli domestik seperti Reog Ponorogo, sebab tari topeng asal import tersebut dengan rakus merebut segmen pasar yang seharusnya bisa di nikmati tari topeng asli dalam negeri seperti Reog. Dikatakan “pesaing berat” disebabkan tari impor cukup dimainkan 5-10 orang, sedangkan tari topeng Reog Ponorogo dimainkan 50-60 orang dengan perbandingan labor/pekerja ini secara hitungan bisa dikalkulasi bahwa jika honor yang diterima kedua kelompok tersebut sama, misal Rp. 2 juta sekali atraksi, dan honor tersebut dibagi ke pekerja tari topeng asal impor akan menerima jumlah rupiah yang jauh lebih besar daripada yang diterima labor/pekerja tari topeng Reong Ponorogo, dengan kata lain labor/pekerja tari topeng asal impor lebih makmur. Dengan demikian tari topeng asal impor bisa memiliki daya tahan dan daya saing (power to compete) yang lebih kuat daripada daya saing Reog Ponorogo.

Unit – unit Reog yang diharapkan bangsa indonesia bisa melestarikan seni budaya warisan leluhur, kenyataannya menampilkan fenomena yang sangat memprihatinkan dimana unit – unit Reog di negerinya sendiri jungkir balik bertahan dan bahkan sebagian sekarat memperebutkan segmen pasar yang dengan rakus dimakan oleh tari impor. Sebenarya honor yang ideal untuk tari topeng Reog Ponorogo minimal adalah Rp 3-4 juta per atraksi, mengingat ongkos untuk mengangkat dadak merak, gamelan dan lain – lain yang dikeluarkan untuk menggelar satu atraksi cukup besar.

Tarif tersebut bisa saja ditekan menjadi Rp 2 juta per atraksi dengan cara menekan cost yang harus di keluarkan apalagi jika order atau job mentok, maka dengan teori analisa break even point biaya atau honor per atraksi bisa makin diturunkan. Bahasa warungnya “bathi setitik ora opo, asal payune meler” order atau job main bagi tari topeng Reog Ponorogo akan meningkat dan melonjak naik tentu saja jika tidak ada pesaing dari tari topeng asal impor tersebut. Disisi lain cost yang harus di keluarkan asal impor jauh lebih ringan, karena topengnya cukup diangkat pakai pick up kecil, pemain tidak perlu ke salon sebab sudah tertutup topengnya jadi tanpa biaya salon, biaya konsumsi juga kecil, jumlah labor/pekerja juga sedikit, jadi power to compete atau daya saing tari topeng asal impor jauh lebih kuat.

Dalam posisi biaya pokok seperti tersebut diatas unit – unit Reog tidak akan mampu bersaing di pasar bebas menghadapi tari impor yang posisi biaya pokoknya jauh lebih rendah dan lebih profitable, belum lagi jika tari topeng asal impor memainkan price policy yakni dengan membanting harga jual honornya menjadi Rp 1 juta atau Rp 500 atau digratiskan sekalipun per atraksi dia masih mampu bertahan, ini disebabkan karena pemilik tari topeng asal impor menganggap usaha tari topengnya sebagai penghasilan tambahan saja atau sebagai hobi saja. Bandingkan dengan unit Reog yang menjadikan usaha tari topeng sebagai andalan utama guna menunjang biaya hidup seluruh keluarganya.

Dari analisa sederhana ini dapat disimpulkan unit – unit Reog Ponorogo akan tersingkir dari pasar persaingan pasar bebas. Data Sejas tahun 2002-2007 volume penjualan Reog selam tujuh tahun merosot 50-60 persen, maka berapa tahun yang dibutuhkan untuk menghabiskan sisanya?. Jika gejala ini merata di seluruh Tanah Air maka Reog Ponorogo akan tersingkir dari pasar persaingan entertainment domestik, dengan kata lain Reog Ponorogo akan musnah di negerinya sendiri.

Lalu mengapa produk jasa domestik Reog Ponorogo tidak dilindungi terhadap serangan tari topeng asal impor? Sebagai contoh bacalah SK Menperindag RI No.229/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4-7-1997, SK No.230/MPP/Kep/7/1997, SK No.732/MPP/Kep/10/2002, SK No.756/MPP/Kep/12/2003, SK No.9/MPP/Kep/1/2004, Baca juga SK Menkeu RI.545/KMK.01/2003, SK No.546/KMK.01/2003, SK No.547/KMK.01/2003, surat edaran dir Bea Cukai No.SE.10/BC/2005, Peraturan Dirjen BCNo.08/BC/2005 dan lainnya yang kesemuanya mengatur dengan tertib dan rapi arus barang impor masuk ke Indonesia.

Di Malaysia, TKI kita yang bagi Malaysia adalah produk jasa tenaga kerja impor juga diatur dan diawasi dengan ketat oleh pemerintahnya, kalau dirasa kehadirannya mengganggu stabilitas supply-demand di pasar tenaga kerja domestik, atau alasan kepentingan nasional lainnya, maka TKI kita yang adalah penjual jasa tenaga kerja akan dipulangkan, dideportasi, diusir dari bumi Malaysia, demikian pula tindakan pemerintah di berbagai negara lainnya. Semua barang jasa dan impor yang membahayakan kelangsungan hidup industri dalam negeri (supply side) serta yang membahayakan consumen dalam negeri (demand side) harus diatur, diawasi, kalau perlu dilarang.

Maka pernyataan perlukah diterbitkan SK setingkat Menteri yang mengatur / mengawasi / membatasi masuknya dan beredarnya arus impor produk jasa intertainment seperti tari topeng asal impor? Mengapa arus produk jasa tari impor dibiarkan merebak, menjamur dan merajalela di pasar enternainment demestik serta pempersempit segmen pasar yang seharusnya bisa dinikmati dan menghidupi para pengusaha kesil domestik Reog Ponorogo?. Tidaklah hal ini membahayakan kelangsungan produk jasa entertainment domestik Reog Ponorogo?

Souce: www.ponorogo.go.id


Reyog, Kesenian Rakyat Penjaga Tradisi

Patih Bujang Ganong meliuk-liukkan tubuhnya. Mencoba menghindar dari sergapan Singo Barong dan Dhadhak Merak. Sembari ketakutan, sosok bermuka merah dengan rambut acak-acakan di depan wajahnya itu berlari-lari menuju Raja Kelana Sewandana, yang sedang gundah gulana menanti cinta Putri Songgo Langit, Putri Raja Kerajaan Kediri. Mendapat laporan sang patih, Kelana Sewandana pun murka.


Senjata pusaka cemeti Pecut Samandiman pun diraih, dan digunakan Kelana Sewandana untuk menghajar Singa Barong dan Dhadhak Merak. Dua binatang yang awalnya ganas dan beringas itu pun tunduk. Dengan satu lecutan, Kelana Sewandana mengutuk mereka menjadi Reyog, binatang berkepala dua. Mitos awal mula bersatunya Singo Barong dan Dhadhak Merak itu diabadikan dalam pagelaran Reyog asal kota Ponorogo, kemudian dikenal sebagai Reyog Ponorogo.

Tidak jelas benar, kapan pertama kali kesenian Reyog Ponorogo dimainkan. Yang pasti, kesenian yang awalnya adalah kesenian rakyat itu selalu hadir dalam event-event khusus dan menjadi ikon kota seluas 1.402 m persegi itu. Terutama event pergantian tahun Jawa atau Grebeg Suro, yang sekaligus bersamaan dengan pergantian tahun Islam.

Tahun 2007 ini, Grebeg Suro di Jawa Timur dirayakan, 15-20 Januari. Hampir di setiap kota di Jawa Timur yang masih kental nuansa mengusung budaya Jawa, merayakan Grebeg Suro. Seperti di Mojokerto, Malang, dan tentu saja Ponorogo. Dibanding dengan peringatan Grebeg Suro di berbagai kota, peringatan di Ponorogo sedikit berbeda. Di tempat ini ada budaya Pesta Rakyat Reyog Ponorogo yang digelar secara massal, pawai kota, jamasan dan larung sesaji di Danau Ngebel. Semua dilaksanakan dalam satu rangkaian pesta.

Festival Reyog Ponorogo tahun ini diikuti oleh 31 kelompok Reyog yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai Lampung Propinsi Lampung, Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, Jawa Tengah dan Ponorogo. "Respon yang begitu banyak membanggakan kami sebagai pelaksana," kata Bambang Wibisono, Kepala Dinas Kesenian Kabupaten Ponorogo pada The Jakarta Post.

Alun-alun Ponorogo bagaikan panggung raksasa pelaksanaan festival itu. Selama empat hari, masing-masing kelompok Reyog beradu keindahan gerak dan alunan musik tradisional Jawa dengan hentakan Ponorogoan. Kempul, Ketipung, Kenong, Angklong, gong dan selompret bertalu-talu. Seakan memacu goyang garang penari Reyog. Masyarakat pun menyemut, menyaksikan aksi Patih Bujang Ganong dan Kelana Sewandana melawan Singo Barong dan Dhadhak Merak.

Menjelang pergantian tahun Jawa adalah puncak Grebek Suro. Masyarakat Ponorogo menyambut kedatangan tahun barunya dengan pawai besar-besaran di seluruh pelosok kota. Sekaligus mengenang perpindahan pemerintahan dari Kota Lama di pinggiran Ponorogo, menuju Kota Baru di Kantor Kabupaten. Diawali dengan penyerahan pusaka kota ke makam Bupati pertama Ponorogo, Betoro Katong, ratusan orang bergerak ke pusat kota. Bendi dan kuda hias menjadi tunggangan. Kota yang terkenal dengan tradisi Warok/Pasukan kerajaan ini pun berpesta. Puluhan ribu orang berjajar di jalanan Ponorogo. Mereka menyambut iring-iringan benda pusaka dan pengiringnya, bagai menyambut pasukan perang yang datang ke kota mereka. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana ketika tiba rombongan yang menjadi idola. "Saya paling suka dengan rombongan yang menghias diri sebagai Reyog raksasa," unkap Nardi, salah satu penduduk Ponorogo di sela-sela pawai itu.

Menjelang tengah malam, ribuan orang menyemut di alun-alun Ponorogo. Menyambut kedatangan tahun baru yang ditunggu-tunggu. Di pusat kota itulah, puncak perayaan pergantian tahun berlangsung. Pangung besar di ujung selatan alun-alun menjadi pusat perayaan. Di sekelilingnya, ratusan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Berdampingan dengan sajian komedi putar. Semburan ratusan kembang api mewarnai langit, ketika tahun jawa 1939 resmi berganti menjadi 1940. "Semoga Ponorogo menjadi Kota Mukti Mibowo (berwibawa-red)," kata Bupati Ponorogo Muhadi Suyono. Usai sudah pesta pora. Saatnya seluruh berdoa. Di Danau Ngebel, doa terpanjatkan dengan diadakannya larung sesaji dan risalah doa. Di danau berjarak 25 KM dari pusat kota itu, kemeriahan upacara pergantian tahun berganti dengan keheningan doa kepada Sang Kuasa. Tumpeng raksasa setinggi dua meter dan doa-doa, menjadi tanda prosesi larung sesaji. Setelah diarak, tumpeng raksasa dan kotak doa dinaikkan perahu bambu, dan di tenggelamkan di tengah danau. Diiringi hentakan musik Reyog bertalu-talu.


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More