Jumat, 26 Desember 2008

Reyog dan Persaingan Pasar

Sebagai awal perayaan HUT 715 kota Surabaya, Minggu 27-4-2008 warga Surabaya dihibur tontonan konvoi karnaval yang meriah dan murah, meriah sebab iringan pawai di ikuti berbagai komponen bangsa, ada TNI-AL, DKP, iringan kendaraan berhias bunga, dan terakhir 10 dadak Merak Reog Ponorogo, murah sebab bisa ditonton warga Surabaya tanpa dipungut karcis.

Inisiatif Wali Kota Surabaya Bambang DH merayakan HUT dengan acara yang memberikan hiburan bagi warga kota sungguh sangat “pas”, mengingat fakta akhir – akhir ini warga Surabaya banyak dipusingkan dengan berbagai masalah seperti naiknya harga – harga sembako dll. Dalam ilmu ekonomi disebut Human Invesment, membikin warga Surabaya riang dan gembira agar besok kerja lebih giat dan produktifitas kerja meningkat.

Pesatuan unit – unit Reog Ponorogo Surabaya sangat senang dan bangga karena pada event konvoi itu Reog Ponorogo yang sudah diakui di dunia sebagai tari topeng terbesar di dunia bisa tampil secara tunggal tanpa diikuti tari topeng lainnya yang sebenarnya adalah produk jasa impor. Tari Topeng ukuran besar selain Reog Ponorogo yang dari aspek ekonomi adalah produk jasa asal impor menjadi “pesaing berat” bagi tari topeng produk asli domestik seperti Reog Ponorogo, sebab tari topeng asal import tersebut dengan rakus merebut segmen pasar yang seharusnya bisa di nikmati tari topeng asli dalam negeri seperti Reog. Dikatakan “pesaing berat” disebabkan tari impor cukup dimainkan 5-10 orang, sedangkan tari topeng Reog Ponorogo dimainkan 50-60 orang dengan perbandingan labor/pekerja ini secara hitungan bisa dikalkulasi bahwa jika honor yang diterima kedua kelompok tersebut sama, misal Rp. 2 juta sekali atraksi, dan honor tersebut dibagi ke pekerja tari topeng asal impor akan menerima jumlah rupiah yang jauh lebih besar daripada yang diterima labor/pekerja tari topeng Reong Ponorogo, dengan kata lain labor/pekerja tari topeng asal impor lebih makmur. Dengan demikian tari topeng asal impor bisa memiliki daya tahan dan daya saing (power to compete) yang lebih kuat daripada daya saing Reog Ponorogo.

Unit – unit Reog yang diharapkan bangsa indonesia bisa melestarikan seni budaya warisan leluhur, kenyataannya menampilkan fenomena yang sangat memprihatinkan dimana unit – unit Reog di negerinya sendiri jungkir balik bertahan dan bahkan sebagian sekarat memperebutkan segmen pasar yang dengan rakus dimakan oleh tari impor. Sebenarya honor yang ideal untuk tari topeng Reog Ponorogo minimal adalah Rp 3-4 juta per atraksi, mengingat ongkos untuk mengangkat dadak merak, gamelan dan lain – lain yang dikeluarkan untuk menggelar satu atraksi cukup besar.

Tarif tersebut bisa saja ditekan menjadi Rp 2 juta per atraksi dengan cara menekan cost yang harus di keluarkan apalagi jika order atau job mentok, maka dengan teori analisa break even point biaya atau honor per atraksi bisa makin diturunkan. Bahasa warungnya “bathi setitik ora opo, asal payune meler” order atau job main bagi tari topeng Reog Ponorogo akan meningkat dan melonjak naik tentu saja jika tidak ada pesaing dari tari topeng asal impor tersebut. Disisi lain cost yang harus di keluarkan asal impor jauh lebih ringan, karena topengnya cukup diangkat pakai pick up kecil, pemain tidak perlu ke salon sebab sudah tertutup topengnya jadi tanpa biaya salon, biaya konsumsi juga kecil, jumlah labor/pekerja juga sedikit, jadi power to compete atau daya saing tari topeng asal impor jauh lebih kuat.

Dalam posisi biaya pokok seperti tersebut diatas unit – unit Reog tidak akan mampu bersaing di pasar bebas menghadapi tari impor yang posisi biaya pokoknya jauh lebih rendah dan lebih profitable, belum lagi jika tari topeng asal impor memainkan price policy yakni dengan membanting harga jual honornya menjadi Rp 1 juta atau Rp 500 atau digratiskan sekalipun per atraksi dia masih mampu bertahan, ini disebabkan karena pemilik tari topeng asal impor menganggap usaha tari topengnya sebagai penghasilan tambahan saja atau sebagai hobi saja. Bandingkan dengan unit Reog yang menjadikan usaha tari topeng sebagai andalan utama guna menunjang biaya hidup seluruh keluarganya.

Dari analisa sederhana ini dapat disimpulkan unit – unit Reog Ponorogo akan tersingkir dari pasar persaingan pasar bebas. Data Sejas tahun 2002-2007 volume penjualan Reog selam tujuh tahun merosot 50-60 persen, maka berapa tahun yang dibutuhkan untuk menghabiskan sisanya?. Jika gejala ini merata di seluruh Tanah Air maka Reog Ponorogo akan tersingkir dari pasar persaingan entertainment domestik, dengan kata lain Reog Ponorogo akan musnah di negerinya sendiri.

Lalu mengapa produk jasa domestik Reog Ponorogo tidak dilindungi terhadap serangan tari topeng asal impor? Sebagai contoh bacalah SK Menperindag RI No.229/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4-7-1997, SK No.230/MPP/Kep/7/1997, SK No.732/MPP/Kep/10/2002, SK No.756/MPP/Kep/12/2003, SK No.9/MPP/Kep/1/2004, Baca juga SK Menkeu RI.545/KMK.01/2003, SK No.546/KMK.01/2003, SK No.547/KMK.01/2003, surat edaran dir Bea Cukai No.SE.10/BC/2005, Peraturan Dirjen BCNo.08/BC/2005 dan lainnya yang kesemuanya mengatur dengan tertib dan rapi arus barang impor masuk ke Indonesia.

Di Malaysia, TKI kita yang bagi Malaysia adalah produk jasa tenaga kerja impor juga diatur dan diawasi dengan ketat oleh pemerintahnya, kalau dirasa kehadirannya mengganggu stabilitas supply-demand di pasar tenaga kerja domestik, atau alasan kepentingan nasional lainnya, maka TKI kita yang adalah penjual jasa tenaga kerja akan dipulangkan, dideportasi, diusir dari bumi Malaysia, demikian pula tindakan pemerintah di berbagai negara lainnya. Semua barang jasa dan impor yang membahayakan kelangsungan hidup industri dalam negeri (supply side) serta yang membahayakan consumen dalam negeri (demand side) harus diatur, diawasi, kalau perlu dilarang.

Maka pernyataan perlukah diterbitkan SK setingkat Menteri yang mengatur / mengawasi / membatasi masuknya dan beredarnya arus impor produk jasa intertainment seperti tari topeng asal impor? Mengapa arus produk jasa tari impor dibiarkan merebak, menjamur dan merajalela di pasar enternainment demestik serta pempersempit segmen pasar yang seharusnya bisa dinikmati dan menghidupi para pengusaha kesil domestik Reog Ponorogo?. Tidaklah hal ini membahayakan kelangsungan produk jasa entertainment domestik Reog Ponorogo?

Souce: www.ponorogo.go.id


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More