Jumat, 26 Desember 2008

Aspek Ekonomi Reyog Ponorogo

Di Surabaya ada 64 unit Reyog Ponorogo dengan berbagai kondisi, ada yang aktif dan sehat, ada yang sakit-sakitan dan ada yang sekarat tinggal tunggu waktu dijemput malaikat pencabut nyawa. Menurut Purwowijoyo (1985:14) dalam bukunya “Babad Ponorogo” dikisahkan kerajaan Wengker terletak di desa Kadipaten, berbatasan dengan desa Sentono 12 km dari Ponorogo, rajanya bernama Raden Wijaya. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ini diserang raja Airlangga dari kerajaan Kahuripan dan hancur. Berselang 200 tahun di Wengker muncul kerajaan Bantarangin, rajanya Kelono Soewandono, patihnya Kelono Wijoyo yang berwajah jelek namun sakti.

Kelono Soewandono kemudian melamar Dewi Songgolangit putri Raja Kediri Parbu Kertojoyo, diberi syarat yang berat yakni harus menggiring semua binatang di hutan untuk dikandangkan serta mencari manusia berkepala harimau. Soewandono marah kemudian berperang tanding melawan Patih Kediri Singoludro. Soewandono kalah muncul adiknya Kelono Wijoyo melawan Singoludro. Singoludro tergeletak kalah kepalanya berubah menjadi kepala harimau, kemudian datang burung-burung merak mengelilinginya. Untuk mengenang kejadian tersebut kemudian diciptakan oleh rakyat Ponorogo Tarian Dadak Merak dengan kepala harimau dan burung merak diatasnya yang sampai sekarang dikenal sebagai Reyog Ponorogo. Dari aspek Seni Budaya, maka Reyog Ponorogo merupakan salah satu kesenian asli produk domestik, dan benar-benar warisan nenek moyang kita sendiri, sedikitpun tidak terkontaminasi oleh seni budaya bangsa asing atau seni budaya impor. Di Surabaya ada 64 unit Reyog Ponorogo dengan berbagai kondisi, ada yang aktif dan sehat, ada yang sakit-sakitan dan ada yang sekarat tinggal tunggu waktu dijemput malaikat pencabut nyawa. Dari aspek Ekonomi, maka setiap unit Reyog Ponorogo adalah Pengusaha Jasa Kecil dan sebagai pengusaha tentu butuh pemasukan uang guna menutup biaya tetap maupun biaya tidak tetap dan dapat laba agar perusahaan bisa eksis dan jalan terus. Pemasukan uang diharapkan dengan menjual jasa entertainment atau jasa hiburan kepada masyarakat, dan konsumennya sementara ini adalah Instansi Pemerintah, BUMD – BUMN, Perusahaan Swasta, Perguruan Tinggi dan lainnya yang bentuk konsumennya adalah lembaga, instansi, atau badan hukum PT – CV, sedangkan konsumen perorangan atau individu masih jarang bahkan cenderung sangat kecil.

Konsumen perorangan / individu sebenarnya juga berpotensi menjadi sumber pemasukan uang yang dominan bagi sebuah unit Reyog Ponorogo, mengingat banyak perhelatan yang dilakukan oleh perorangan / individu dalam masyarakat, seperti acara Pernikahan, khitanan, HUT dan lainnya, “segan“ memakai Reyog Ponorogo sebagai entertainment guna menyambut dan menghibur para tamu. Dikatakan masih “segan “ sebab konsumen perorangan / individu umumnya merasa “kurang pas” jika memakai Reyog Ponorogo sebagai penghibur para tamunya, dengan pertimbangan karena Dadak Merak Reyog Ponorogo secara fisik terlalu besar untuk beraksi di dalam rumah / gedung tempat perhelatan, dan sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa kelompok Reyog Ponorogo merupakan komunitas dari orang-orang kasar, garang, pemabuk, pemarah, penjudi dan predikat lain yang bernada negatif. Semua anggapan dan asumsi itu TIDAK BENAR. Para pemain Reyog Ponorogo memang berpakaian hitam, berjenggot, berbadan tegap, wajahnya di make up menjadi kelihatan garang, hal ini dikarenakan mereka harus mengikuti pakem sesuai alur cerita sejarahnya. Namun, sebenarnya para pemain Reog itu halus tutur kata dan ramah budi pekertinya serta taat beragama, dan banyak diantara mereka berpendidikan S1 seperti sarjana kesenian, sarjana pendidikan, sarjana hukum, sarjana ekonomi, lulusan Pondok Pesantren dan SMU. Mereka adalah orang-orang terpelajar yang mengabdikan diri demi melestarikan seni budaya bangsa. Marilah kita introspeksi, bisakah kita berbuat seperti mereka, menari dengan memanggul Dadak Merak seberat 60 – 70 kg dengan gigitan gigi, pemain Jaran Kepang-nya dicambuki, makan paku, kaca, silet, biji padi dan alang-alang, ditonton banyak orang. Jangan lupa mereka berpotensi sebagai penghasil devisa bagi negara.

Turis-turis dari manca negara yang datang ke Indonesia selalu menanyakan dimana dan kapan bisa menonton atraksi Reyog Ponorogo. Unit Reyog Ponorogo sering digelar di berbagai pelabuhan contohnya Tanjung Perak guna menyambut kedatangan kapal pesiar berbendera asing, mereka beraksi di dermaga, sehingga para turis yang semula enggan turun, setelah Reyog Ponorogo beraksi mereka berbondong turun. Kemudian setelah menonton Reyog mereka naik taksi bayar pakai Dolar, belanja ke pasar Blauran, ke pasar Turi, ke Bonbin, bayar pakai Dolar, sehingga Dolar beralih ke tangan warga Surabaya kemudian ditukar dengan Rupiah ke bank Devisa, disetor ke Bank Indonesia, selanjutnya masuk ke Cadangan Devisa Negara.

Jadi peranan Reyog Ponorogo “mulia” dan “berat”. Tahukah anda bahwa karena beratnya beban tersebut, semua unit Reyog Ponorogo kesulitan dalam melakukan regenerasi, sebab anak-anak mereka tidak mau mengikuti jejak orang tuanya sebagai pemain Reyog., dan hal tersebut wajar, sebab Reyog Ponorogo sampai hari ini tidak menjanjikan prospek yang baik bagi mereka. Data penjualan (pemakaian) Reog di Surabaya sejak tahun 2002 – 2007 semakin menurun, misal Reyog Gembong penjualan per tahun berturut-turut sebanyak 35(kali)-30-27-24-20-18-15, Reyog Wahyu: 32(kali)-28-25-22-19-17-14, Reyog Singo:34(kali)-31-24-20-17-15-12, juga unit reyog lainnya menurun terus. Bandingkan kondisi ini dengan yang terjadi di entertainment lain seperti kalangan penyanyi dangdut, misal Inul yang menyanyi dengan kualitas suara biasa-biasa saja disertai goyang pinggul sudah dapat honor puluhan juta, sehingga generasi muda berduyun mengikuti berbagai kontes dangdut dan semacamnya.

Jika gejala ini merata di seluruh tanah air, maka Reyog Ponorogo akan musnah dan terhapus dari bumi Indonesia, sedang negara tetangga seperti Malaysia siap dengan kedua belah tangan terbuka menerima, menganak emas-kan dengan berbagai fasilitas, subsidi dan bantuan serta mengakui dengan bangga bahwa Reyog Ponorogo adalah seni budaya mereka?.

Kiranya kita semua tidak akan rela jika proyeksi tersebut benar-benar terjadi, dan harus dicegah sedini mungkin. Walikota dan Wakil Walikota Surabaya sudah merintis membantu pengembangan unit Reyog Ponorogo dengan mengijinkan unit-unit Reyog beratraksi di Balai Pemuda Surabaya setiap hari Minggu pagi pukul 10.00 – 11.00 WIB, juga telah memberi bantuan moril dan material yang tidak bisa disebut satu persatu, dimaksudkan mendorong pemasaran Reyog Ponorogo.

Yang masih ditunggu adalah bantuan dari instansi lainnya, baik BUMD – BUMN maupun pengusaha-pengusaha swasta, dan kalangan perbankan dengan bantuan kredit lunak dan mudah, serta dari warga Surabaya sendiri. Bantuan yang sangat dibutuhkan oleh Reyog adalah “peningkatan volume penjualan jasanya”, jadi pakailah Reyog Ponorogo sebagai entertainment atau penghibur tamu-tamu dalam segala event.

DR. Herman Budi Sasono, SE.,MM


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More