Jumat, 26 Desember 2008

Pesantren & Politik di Ponorogo

Raden Katong, yang kemudian lazim di sebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri- meyakini Batoro Katong lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong alias Lembu Kanigoro bersama para pengikutnya antara lain Ki Selo Aji, Kiai Muslim (Ki Ageng Mirah) adalah pengemban misi suci melakukan ‘Islamisasi’ sekaligus ‘menundukkan’ tanah Wengker, sebuah daerah tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis. Yang kemudian kita kenal dengan nama Ponorogo.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefactbudaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai ‘totems’, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari ‘alam bawah sadar’ masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam ‘hiperealitas’, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Sebagaimana yang telah di sebutkan di depan, bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ‘ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo. Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Dalam konteks inilah penting, mencoba mencari kaitan antara ambisi-ambisi, cita-cita atau bahkan impian Batoro Katong sebagai Peng-Islam dan penguasa Politik Ponorogo dengan kultur politik yang muncul dikalangan pesantren yang tidak lain adalah para keturunan dan penerus ‘perjuangan’ Batoro Katong.

Oleh : Murdianto An-Nawie


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More